HUKUM PERJANJIAN DAN PERIKATAN


REVIEW JURNAL
HUKUM PERJANJIAN DAN PERIKATAN



Disusun Oleh:
Kelompok 4
Dian Akbarani Sahira         170321100011
Diana                                     170321100051
M. Ali Mashur Sidik             170321100075




PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2018



BAB I PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang yang tidak sadar bahwa mereka disetiap harinya selalu melakukan perjanjian. Hal-hal seperti membeli suatu barang, sewa-menyewa, dan lainnya. Perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian. Perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum dan timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut perjanjian yang didalamnya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dan perjanjian adalah sumber perikatan.
Di dalam hukum perikatan, setiap orang dapat melakukan perikatan yang bersumber dari perjanjian, perjanjian apapun atau bagaimanapun baik itu yang diatur dalam undang-undang ataupun tidak, inilah yang disebut kebebasan berkontrak. Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan didalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas diatur didalamnya.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang pengertian dan syarat-syarat sahnya perjanjian, macam-macam perjanjian, dan perbuatan melawan hukum dan force majeur.

1.2  Rumusan Masalah

  1. Apa pengertian dan syarat sah perjanjian?
  2. Apa saja macam-macam perjanjian?
  3. Apa yang dimaksud perbuatan melawan hukum dan keadaan force majeur?

1.3  Tujuan

a.    Untuk mengetahui pengertian dan syarat sah perjanjian
b.    Untuk mengetahui macam-macam perjanjian
c.    Untuk mengetahui apa yang dimaksud perbuatan melawan hukum dan keadaan force majeur



BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Syarat Sah Perjanjian

            Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana antara satu orang atau lebih yang saling terikat janji. Menurut R. Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana orang lain saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Sedangkan definisi perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata perjanjian adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap orang lain atau lebih. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Terdapat 4 syarat sah terjadinya perjanjian, antara lain:
  1.  Adanya kesepakatan mereka yang mengadakan perjanjian
  2. Kecakapan untuk membuat perjanjian
  3. Suatu hal tertentu yang hendak dijanjikan
  4. Suatu sebab yang halal

Keempat syarat tersebut dapat dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu:
a.    Syarat subyektif, terdiri dari adanya kesepakatan dan kecakapan para pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif ini dapat dibatalkan artinya perjanjian dianggap tidak ada apabila perjanjian tersebut mengandung unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan
b.    Syarat obyektif, terdiri dari adanya obyek yang jelas dan adanya sebab yang dibenarkan oleh hukum. Apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya sejak perjanjian tersebut dibuat sudah dianggap tidak pernah ada tanpa proses pembatalan terlebih dahulu.

2.2 Macam-Macam Perjanjian

            Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, jenis suatu perjanjian  diantaranya adalah:
a.    Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak.
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yangmenimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Contoh dari perjanjian timbal balik adalah perjanjian sewa menyewa (hurr en verburr) KUH Perdata pasal 1548 dan seterusnya, yaitu suatu perjanjian dimana pihak 1 (yang menyewakan) memberi izin dalam waktu tertentu kepada pihak 2 (si penyewa) untuk menggunakan barangnya dengan kewajiban pihak 2 membayar sejumlah uang sewanya. Sementara itu, perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan, dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.
b.    Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban.
Perjanjian percuma adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Dengan demikian dalam perjanjian ini hanya memberika keuntungan kepada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai. Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubugannya menurut hukum. Kontra prestasi dapat berupa kewajiban pihak lain ataupun pemenuhan suatu syarat potestatif (imbalan). Misalnya X menyanggupi memberikan kepada Y sejumlah uang, jika Y menyerahkan lepaskan suatu barang tertentu kepada X.
c.    Perjanjian bernama (benoemed) dan tidak bernama (non benoemd overeenkomst).
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Misalnya jual beli, sewa menyewa, dan lainnya. Sementara perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas dan nama disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya seperti perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran dsb. Perjanjian tidak bernama tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi lahirnya di dalam masyarakat berdasarkan asas kebebasan berkontrak.
d.    Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator.
Perjanjian kebendaan atau zakelijk overeenkomst adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Artinya, sejak terjadi perjanjian timbulah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga. Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual berkewajiban menyerahkan barang.
e.    Perjanjian konsensual dan perjanjian riil.
Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana antar kedua belah pihak telah tercapai kesesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata, perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (pasal 1338 KUH Perdata). Perjanjian riil adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya.
f.      Perjanjian publik.
Perjanjian publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dukuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya adalah swasta. Contohnya ialah perjanjian ikatan dinas.
g.    Perjanjian campuran.
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tetapi juga menyajikan makanan (jua lbeli) dan juga memberika pelayanan.
Dalam hukum perikatan, bentuk perjanjian dapat juga dibedakan menjadi dua macam yaitu perjanjian tertulis dan tidak tertulis. Dalam perjanjian tidak tertulis atau lisan, yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak). Sedangkan dalam perjanjian tertulis, adalah perjanjian yang dibuat dalam bentuk tulisan, meliputi perjanjian dibawah tangan yaitu perjanjian yang hanya ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan, perjanjian dengan saksi notaris (perjanjian yang ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan dan dilegalisasi oleh notaris, dan perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris.

2.3 Perbuatan Melawan Hukum dan Keadaan Force Majeur

2.3.1 Perbuatan Melawan Hukum

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian. Mariam Darus Badrulzaman dalam Rancangan UU (RUU) Perikatan berusaha merumuskannya secara lengkap, sebagai berikut:
1.    Suatu perbuatan melawan hokum yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahan atau kelalaiannya menebritkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
2.    Melanggar hukum adalah tiap perbuatan yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengankepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan kemasyarakatan terhadap pribadi atau harta benda orang lain.
3.    Seorang yang sengaja tidak melakukan suatu perbuatan yang wajib dilakukannya, disamakan dengan seorang yang melakukan suatu perbuatan terlarang dan karenanya melanggar hukum.
Perumusan norma dalam konsep Mariam Darus Badrulzaman ini telah mengabsorbsi perkembangan pemikiran yang baru mengenai perbuatan melawan hukum. Sebab dalam konsep itu pengertian melawan hukum menjadi tidak hanya diartikan sebagai melawan undang-undang (hokum tertulis) tetapi juga bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat (hukum tidak tertulis).
Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada awalnya memang mengandung pengertian yang sempit sebagai pengaruh dari ajaran legisme. Pengertian yang dianut adalah bahwa perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang. Dengan kata lain bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sama sengan perbuatan melawan undang-undang (onwetmatigedaad).
Penilaian mengenai apakah suatu perbuatan termasuk perbuatan melawan hukum, tidak cukup apabila hanya didasarkan pada pelanggaran terhadap kaidah hukum, tetapi perbuatan tersebut harus juga dinilai dari sudut pandang kepatutan. Fakta bahwa seseorang telah melakukan pelanggaran terhadap suatu kaidah hukum dapat menjadi faktor pertimbangan untuk menilai apakah perbuatan yang menimbulkan kerugian tadi sesuai atau tidak dengan kepatutan yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat.
Terminologi dari “Perbuatan Melawan Hukum” merupakan terjemahan dari kata onrechtmatigedaad, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III tentang Perikatan, Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1380. Beberapa sarjana ada yang mempergunakan istilah “melanggar” dan ada yang mempergunakan istilah “melawan”. Wirjono Prodjodikoro menggunakan istilah “perbuatan melanggar hukum”, dengan mengatakan: “Istilah onrechtmatigedaad dalam bahasa Belanda lazimnya mempunyai arti yang sempit, yaitu arti yang dipakai dalam Pasal 1365 Burgerlijk Wetboek dan yang hanya berhubungan dengan penafsiran dari pasal tersebut, sedang kini istilah perbuatan melanggar hukum ditujukan kepada hokum yang pada umumnya berlaku di Indonesia dan yang sebagian terbesar merupakan Hukum Adat”. Subekti juga menggunakan istilah Perbuatan Melanggar Hukum.
Terminologi “Perbuatan Melawan Hukum” antara lain digunakan oleh Mariam Darus Badrulzaman, dengan mengatakan: “Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada seseorang lain mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian ini mengganti kerugian tersebut”.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dan IS Adiwimarta9 dalam menerjemahkan buku H.F.A. Vollmar juga mempergunakan istilah perbuatan melawan hukum. Selain itu, istilah yang sama juga digunakan oleh MA Moegni Djojodirdjo dan Setiawan. MA Moegni Djojodirdjo mengatakan: “Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidaklah memberikan perumusan melainkan hanya mengatur bilakah seseorang yang mengalami kerugian karena perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya, akan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian pada Pengadilan Negeri dengan succes”.
Berdasarkan rumusan di atas maka dapat dikatakan bahwa perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak (subyektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat) yang bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh seorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat dengan mengingat adanya alasan pembenar menurut hukum.
Permasalahan hukum yang timbul adalah dalam hal ada hubungan kontraktual antara para pihak dan terjadi wanprestasi dapatkah diajukan gugatan perbuatan melawan hukum.

2.3.2 Keadaan Force Majeur

Keadaan Memaksa dimana adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai keadaan yang membawa konsekuensi bagi para pihak dalam suatu perikatan, di mana pihak yang tidak dapat memenuhi prestasi tidak dinyatakan wanprestasi. Dengan demikian, dalam hal terjadinya keadaan memaksa, debitur tidak wajib membayar ganti rugi dan dalam perjanjian timbal balik, kreditur tidak dapat menuntut pembatalan karena perikatannya dianggap gugur/terhapus. Beberapa pakar membahas akibat hukum dari keadaan memaksa.
Istilah yang digunakan untuk menyebut force majeure/overmacht adalah keadaan memaksa meskipun para ahli hukum telah menerjemahkan terminologi tu dengan keadaan memaksa, dalam pembahasan masih juga menggunakan terminologi overmacht.
Pengertian overmacht secara spesifik, tidak diuraikan akan tetapi memberi pengertian overmacht, dengan mendasarkan pada dua ajaran tentang overmacht, yaitu ajaran lama yang disebut Overmacht Objektif dan ajaran baru, yaitu Overmacht Subjektif. Makna Overmacht objektif adalah setiap orang sama sekali tidak mungkin memenuhi verbintenis (perikatan). Kusumadi disebut sebagai Impossibilitas, sedangkan Overmacht subjektif adalah tidak terpenuhinya verbintenis karena faktor “difficult” (yang merupakan lawan dari impossibilitas).
Dasar ajaran force majeure/overmacht subjektif adalah difficultas (kebalikan dari impossibilitas). Misalnya : Sesudah diadakan perjanjian jual-beli secara tiba-tiba, terjadi kenaikan harga barang yang tidak dapat diduga lebih dahulu sehingga untuk memenuhi kewajibannya melever barang, si penjual harus membeli barang yang harus di-lever tersebut dengan harga yang sangat tinggi namun kedua ajaran di atas tidak ada artinya jika tidak dilengkapi dengan ajaran risiko.
Debitur yang dinyatakan wanprestasi dan kepadanya dimintakan sanksi atas wanprestasi yang terjadi dapat membela diri dengan mengemukakan berbagai alasan. Salah satunya adalah karena adanya keadaan memaksa (force majeure atau overmacht).
Dalam KUH Perdata, force majeure diatur dalam Pasal 1244 dan 1245, dalam bagian mengenai ganti rugi karena force majeure merupakan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Pasal 1244 KUH Perdata mengatur: ”Jika ada alasan untuk itu si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggung jawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya”
Sementara itu, Pasal 1245 KUH Perdata menentukan: ”Tidaklah biaya, rugi, dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang”.
Dalam hal ini perikatan diartikan sebagai isi dari sebuah perjanjian yang memiliki sifat yang terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para pihak. Dengan beberapa syarat yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang- undang. Dari perikatan yang terjadi itu, maka akan menimbulkan adanya suatu hak dan kewajiban yang mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sebagaimana termasuk dalam Kitab Undang undang Hukum Perdata Pasal 1338 :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan- alasan yang oleh undang- undang dinyatakan cukup untuk itu, dan perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”.
Terkait dengan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perikatan sedikit berbeda dari perjanjian yang bersifat terbuka dalam mengatur hak- hak dan kewajiban para pihak. Ketentuan yang mengatur mengenai masalah perjanjian diatur dalam Buku III Kitab UndangUndang Hukum Perdata tentang Perikatan. Menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab UndangUndang Hukum Perdata dijelaskan bahwa : “ Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satuorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Hukum perjanjian pada dasarnya memberikan kebebasan yang seluas- luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang bersifat apa saja selama perjanjian itu tidak melanggar ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan Dalam membuat suatu perjanjian banyak cara atau jenis yang diperlukan dalam masyarakat, baik hal itu telah diatur dalam undang- undang maupun hanya berupa kebiasaan yang dilakukan sehari- hari.
Berdasarkan jenis perjanjian yang dikemukakan di atas perjanjian kerjasama biasanya memakai perjanjian sepihak karena memberikan kewajiban pada seseorang sekaligus memberikan hak kepada seseorang lain untuk menerima prestasi yang telah dibuat, atau bisa juga memakai perjanjian timbal balik karena dalam perjanjian tersebut memberikan hak dan kewajiban kepada para pihak.
Dengan demikian tujuan perjanjian adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang melakukan perjanjian sehingga ketentuan yang diatur didalam sebuah kontrak dapat terlaksana dengan baik dan mempunyai batasan- batasan hak dan kewajiban bagi para pihak yang terlibat di dalam perjanjian suatu kontrak tersebut.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

            Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan suatu hal. Adapun syarat sah perjanjian ada empat, yaitu:

  • Adanya kesepakatan mereka yang mengadakan perjanjian
  • Kecakapan untuk membuat perjanjian
  • Suatu hal tertentu yang hendak dijanjikan
  • Suatu sebab yang halal

b.    Dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, jenis suatu perjanjian ada tujuh, yaitu Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak, Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban, Perjanjian bernama (benoemed) dan tidak bernama (non benoemd overeenkomst), Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator, Perjanjian konsensual dan perjanjian riil, Perjanjian publik, dan Perjanjian publik.
c.    Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak (subyektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat) yang bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh seorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat dengan mengingat adanya alasan pembenar menurut hukum. Sedangkan keadaan force majeur adalah force majeure/overmacht adalah keadaan memaksa. Keadaan memaksa dimana adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai keadaan yang membawa konsekuensi bagi para pihak dalam suatu perikatan, di mana pihak yang tidak dapat memenuhi prestasi tidak dinyatakan wanprestasi. Dengan demikian, dalam hal terjadinya keadaan memaksa, debitur tidak wajib membayar ganti rugi dan dalam perjanjian timbal balik, kreditur tidak dapat menuntut pembatalan karena perikatannya dianggap gugur/terhapus.

DAFTAR PUSTAKA

Hapsari, Dwi Ratna Indri. 2014. Kontrak Dalam Kitab Undang - Undang Hukum Perdata dan Hukum Islam terhadap Suatu Kajian dalam Perspektif Asas - Asas Hukum. Jurnal Repertorium, ISSN:2335-2646, Edisi I Januari - Juni 2014
Khoe, Fenny Natalia. 2013. Hak Pekerja yang Sudah Bekerja Namun Belum Menandatangani Perjanjian Kerja Atas Upah Ditinjau Berdasarkan Undangan-Undangan Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. Vol.2, No. 1 :1-12.
Prayogo, Sedyo. 2016. Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perjanjian. Jurnal Pembaharuan Hukum. Volume III Nomor 2 : 280-287.
Rasuh, Daryl John. 2016. Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal 1244 Dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jurnal Lex Privatum. Volume IV Nomor 2 : 173-180.

Share: