REVIEW JURNAL
HUKUM PERJANJIAN DAN PERIKATAN
Disusun Oleh:
Kelompok 4
Dian Akbarani Sahira 170321100011
Diana 170321100051
M. Ali Mashur Sidik 170321100075
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2018
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
kehidupan sehari-hari banyak orang yang tidak sadar bahwa mereka disetiap
harinya selalu melakukan perjanjian. Hal-hal seperti membeli suatu barang,
sewa-menyewa, dan lainnya. Perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, bahwa perjanjian atau persetujuan adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari
perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim
diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313
KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian. Perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum dan timbullah suatu hubungan hukum
antara dua orang atau lebih yang disebut perjanjian yang didalamnya terdapat
hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dan perjanjian adalah sumber perikatan.
Di dalam
hukum perikatan, setiap orang dapat melakukan perikatan yang bersumber dari
perjanjian, perjanjian apapun atau bagaimanapun baik itu yang diatur dalam
undang-undang ataupun tidak, inilah yang disebut kebebasan berkontrak. Suatu
persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan didalamnya
melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut
berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang
diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu
persetujuan, walaupun tidak dengan tegas diatur didalamnya.
Dalam
makalah ini, kami akan membahas tentang pengertian dan
syarat-syarat sahnya perjanjian, macam-macam perjanjian, dan perbuatan melawan
hukum dan force majeur.
1.2 Rumusan Masalah
- Apa pengertian dan syarat sah perjanjian?
- Apa saja macam-macam perjanjian?
- Apa yang dimaksud perbuatan melawan hukum dan keadaan force majeur?
1.3 Tujuan
a.
Untuk mengetahui pengertian dan syarat sah perjanjian
b.
Untuk mengetahui macam-macam perjanjian
c.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud perbuatan
melawan hukum dan keadaan force majeur
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Syarat Sah Perjanjian
Perjanjian
adalah suatu perbuatan dimana antara satu orang atau lebih yang saling terikat
janji. Menurut R. Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain atau dimana orang lain saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal. Sedangkan definisi perjanjian menurut pasal 1313 KUH
Perdata perjanjian adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu orang atau
lebih mengikat dirinya terhadap orang lain atau lebih. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Terdapat 4 syarat sah terjadinya perjanjian, antara lain:
- Adanya kesepakatan mereka yang mengadakan perjanjian
- Kecakapan untuk membuat perjanjian
- Suatu hal tertentu yang hendak dijanjikan
- Suatu sebab yang halal
Keempat syarat tersebut dapat
dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu:
a. Syarat
subyektif, terdiri dari adanya kesepakatan dan kecakapan para pihak yang
membuat perjanjian. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif ini
dapat dibatalkan artinya perjanjian dianggap tidak ada apabila perjanjian
tersebut mengandung unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan
b. Syarat
obyektif, terdiri dari adanya obyek yang jelas dan adanya sebab yang dibenarkan
oleh hukum. Apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal
demi hukum, artinya sejak perjanjian tersebut dibuat sudah dianggap tidak
pernah ada tanpa proses pembatalan terlebih dahulu.
2.2 Macam-Macam Perjanjian
Perjanjian dapat dibedakan menurut
berbagai cara. Dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, jenis suatu
perjanjian diantaranya adalah:
a. Perjanjian timbal balik dan perjanjian
sepihak.
Perjanjian timbal balik adalah
perjanjian yangmenimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Contoh dari
perjanjian timbal balik adalah perjanjian sewa menyewa (hurr en verburr) KUH
Perdata pasal 1548 dan seterusnya, yaitu suatu perjanjian dimana pihak 1 (yang
menyewakan) memberi izin dalam waktu tertentu kepada pihak 2 (si penyewa) untuk
menggunakan barangnya dengan kewajiban pihak 2 membayar sejumlah uang sewanya.
Sementara itu, perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban
kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah.
Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan,
dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.
b. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas
beban.
Perjanjian percuma adalah
perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak
yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Dengan demikian
dalam perjanjian ini hanya memberika keuntungan kepada satu pihak saja, misalnya
perjanjian pinjam pakai. Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana
terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari
pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubugannya menurut hukum. Kontra
prestasi dapat berupa kewajiban pihak lain ataupun pemenuhan suatu syarat
potestatif (imbalan). Misalnya X menyanggupi memberikan kepada Y sejumlah uang,
jika Y menyerahkan lepaskan suatu barang tertentu kepada X.
c. Perjanjian bernama (benoemed) dan tidak
bernama (non benoemd overeenkomst).
Perjanjian bernama adalah
perjanjian yang diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang berdasarkan
tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Misalnya jual beli, sewa menyewa,
dan lainnya. Sementara perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak
mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas dan nama disesuaikan
dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya seperti perjanjian kerja sama,
perjanjian pemasaran dsb. Perjanjian tidak bernama tidak diatur dalam KUH
Perdata, tetapi lahirnya di dalam masyarakat berdasarkan asas kebebasan
berkontrak.
d. Perjanjian kebendaan dan perjanjian
obligator.
Perjanjian kebendaan atau zakelijk
overeenkomst adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian
jual beli. Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan.
Artinya, sejak terjadi perjanjian timbulah hak dan kewajiban pihak-pihak.
Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran
harga. Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual berkewajiban menyerahkan
barang.
e. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil.
Perjanjian konsensual adalah
perjanjian dimana antar kedua belah pihak telah tercapai kesesuaian kehendak
untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata, perjanjian ini sudah mempunyai
kekuatan mengikat (pasal 1338 KUH Perdata). Perjanjian riil adalah perjanjian
disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata
atas barangnya.
f. Perjanjian publik.
Perjanjian publik adalah
perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dukuasai oleh hukum publik, karena
salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya adalah
swasta. Contohnya ialah perjanjian ikatan dinas.
g. Perjanjian campuran.
Perjanjian campuran ialah
perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel
yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tetapi juga menyajikan makanan (jua lbeli)
dan juga memberika pelayanan.
Dalam hukum perikatan, bentuk
perjanjian dapat juga dibedakan menjadi dua macam yaitu perjanjian tertulis dan
tidak tertulis. Dalam perjanjian tidak tertulis atau lisan, yaitu perjanjian
yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak).
Sedangkan dalam perjanjian tertulis, adalah perjanjian yang dibuat dalam bentuk
tulisan, meliputi perjanjian dibawah tangan yaitu perjanjian yang hanya
ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan, perjanjian dengan saksi notaris
(perjanjian yang ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan dan dilegalisasi
oleh notaris, dan perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris.
2.3 Perbuatan Melawan Hukum dan Keadaan Force Majeur
2.3.1 Perbuatan Melawan Hukum
Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang
mengakibatkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang melakukan
perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian. Mariam Darus Badrulzaman dalam
Rancangan UU (RUU) Perikatan berusaha merumuskannya secara lengkap, sebagai
berikut:
1.
Suatu
perbuatan melawan hokum yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena kesalahan atau kelalaiannya menebritkan kerugian
itu mengganti kerugian tersebut.
2.
Melanggar
hukum adalah tiap perbuatan yang melanggar hak orang lain atau bertentangan
dengankepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan kemasyarakatan terhadap
pribadi atau harta benda orang lain.
3.
Seorang
yang sengaja tidak melakukan suatu perbuatan yang wajib dilakukannya, disamakan
dengan seorang yang melakukan suatu perbuatan terlarang dan karenanya melanggar
hukum.
Perumusan norma dalam konsep Mariam Darus Badrulzaman ini telah
mengabsorbsi perkembangan pemikiran yang baru mengenai perbuatan melawan hukum.
Sebab dalam konsep itu pengertian melawan hukum menjadi tidak hanya diartikan
sebagai melawan undang-undang (hokum tertulis) tetapi juga bertentangan dengan
kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat (hukum tidak
tertulis).
Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata pada awalnya memang mengandung pengertian yang sempit sebagai pengaruh
dari ajaran legisme. Pengertian yang dianut adalah bahwa perbuatan melawan
hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum
menurut undang-undang. Dengan kata lain bahwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad)
sama sengan perbuatan melawan undang-undang (onwetmatigedaad).
Penilaian mengenai apakah suatu perbuatan termasuk perbuatan melawan
hukum, tidak cukup apabila hanya didasarkan pada pelanggaran terhadap kaidah
hukum, tetapi perbuatan tersebut harus juga dinilai dari sudut pandang
kepatutan. Fakta bahwa seseorang telah melakukan pelanggaran terhadap suatu
kaidah hukum dapat menjadi faktor pertimbangan untuk menilai apakah perbuatan
yang menimbulkan kerugian tadi sesuai atau tidak dengan kepatutan yang
seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat.
Terminologi dari
“Perbuatan Melawan Hukum” merupakan terjemahan dari kata onrechtmatigedaad,
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III tentang Perikatan,
Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1380. Beberapa sarjana ada yang mempergunakan
istilah “melanggar” dan ada yang mempergunakan istilah “melawan”. Wirjono
Prodjodikoro menggunakan istilah “perbuatan melanggar hukum”, dengan
mengatakan: “Istilah onrechtmatigedaad dalam bahasa Belanda lazimnya
mempunyai arti yang sempit, yaitu arti yang dipakai dalam Pasal 1365 Burgerlijk
Wetboek dan yang hanya berhubungan dengan penafsiran dari pasal tersebut,
sedang kini istilah perbuatan melanggar hukum ditujukan kepada hokum yang pada
umumnya berlaku di Indonesia dan yang sebagian terbesar merupakan Hukum Adat”.
Subekti juga menggunakan istilah Perbuatan Melanggar Hukum.
Terminologi
“Perbuatan Melawan Hukum” antara lain digunakan oleh Mariam Darus Badrulzaman,
dengan mengatakan: “Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan
bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada
seseorang lain mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian ini
mengganti kerugian tersebut”.
Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan dan IS Adiwimarta9 dalam menerjemahkan buku H.F.A. Vollmar
juga mempergunakan istilah perbuatan melawan hukum. Selain itu, istilah yang
sama juga digunakan oleh MA Moegni Djojodirdjo dan Setiawan. MA Moegni
Djojodirdjo mengatakan: “Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidaklah
memberikan perumusan melainkan hanya mengatur bilakah seseorang yang mengalami
kerugian karena perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh orang lain
terhadap dirinya, akan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian pada Pengadilan
Negeri dengan succes”.
Berdasarkan
rumusan di atas maka dapat dikatakan bahwa perbuatan melawan hukum adalah
perbuatan yang melanggar hak (subyektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak
berbuat) yang bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau
bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang seharusnya
dijalankan oleh seorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat
dengan mengingat adanya alasan pembenar menurut hukum.
Permasalahan
hukum yang timbul adalah dalam hal ada hubungan kontraktual antara para pihak
dan terjadi wanprestasi dapatkah diajukan gugatan perbuatan melawan hukum.
2.3.2 Keadaan Force Majeur
Keadaan Memaksa dimana adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai
keadaan yang membawa konsekuensi bagi para pihak dalam suatu perikatan, di mana
pihak yang tidak dapat memenuhi prestasi tidak dinyatakan wanprestasi. Dengan
demikian, dalam hal terjadinya keadaan memaksa, debitur tidak wajib membayar
ganti rugi dan dalam perjanjian timbal balik, kreditur tidak dapat menuntut
pembatalan karena perikatannya dianggap gugur/terhapus. Beberapa pakar membahas
akibat hukum dari keadaan memaksa.
Istilah yang digunakan untuk menyebut force majeure/overmacht
adalah keadaan memaksa meskipun para ahli hukum telah menerjemahkan terminologi
tu dengan keadaan memaksa, dalam pembahasan masih juga menggunakan terminologi overmacht.
Pengertian overmacht secara spesifik, tidak diuraikan akan tetapi
memberi pengertian overmacht, dengan mendasarkan pada dua ajaran tentang
overmacht, yaitu ajaran lama yang disebut Overmacht Objektif dan
ajaran baru, yaitu Overmacht Subjektif. Makna Overmacht objektif
adalah setiap orang sama sekali tidak mungkin memenuhi verbintenis
(perikatan). Kusumadi disebut sebagai Impossibilitas, sedangkan Overmacht
subjektif adalah tidak terpenuhinya verbintenis karena faktor “difficult”
(yang merupakan lawan dari impossibilitas).
Dasar ajaran force majeure/overmacht subjektif adalah difficultas
(kebalikan dari impossibilitas). Misalnya : Sesudah diadakan perjanjian
jual-beli secara tiba-tiba, terjadi kenaikan harga barang yang tidak dapat
diduga lebih dahulu sehingga untuk memenuhi kewajibannya melever barang, si
penjual harus membeli barang yang harus di-lever tersebut dengan harga yang
sangat tinggi namun kedua ajaran di atas tidak ada artinya jika tidak
dilengkapi dengan ajaran risiko.
Debitur yang dinyatakan wanprestasi dan kepadanya dimintakan sanksi atas
wanprestasi yang terjadi dapat membela diri dengan mengemukakan berbagai
alasan. Salah satunya adalah karena adanya keadaan memaksa (force majeure
atau overmacht).
Dalam KUH Perdata, force majeure diatur dalam Pasal 1244 dan
1245, dalam bagian mengenai ganti rugi karena force majeure merupakan
alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Pasal 1244 KUH
Perdata mengatur: ”Jika ada alasan untuk itu si berutang harus dihukum
mengganti biaya, rugi, dan bunga, bila ia tidak membuktikan, bahwa hal tidak
dilaksanakan atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu
disebabkan karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggung jawabkan
padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada pada pihaknya”
Sementara itu, Pasal 1245 KUH Perdata menentukan: ”Tidaklah biaya, rugi,
dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa atau karena suatu
keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat
sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan
perbuatan yang terlarang”.
Dalam hal ini perikatan diartikan sebagai isi dari sebuah perjanjian
yang memiliki sifat yang terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para
pihak. Dengan beberapa syarat yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan undang- undang. Dari perikatan yang terjadi itu, maka akan
menimbulkan adanya suatu hak dan kewajiban yang mengikat dan berlaku sebagai
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sebagaimana termasuk dalam Kitab
Undang undang Hukum Perdata Pasal 1338 :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan- alasan yang oleh undang-
undang dinyatakan cukup untuk itu, dan perjanjian harus dilaksanakan dengan
iktikad baik”.
Terkait dengan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perikatan
sedikit berbeda dari perjanjian yang bersifat terbuka dalam mengatur hak- hak
dan kewajiban para pihak. Ketentuan yang mengatur mengenai masalah perjanjian
diatur dalam Buku III Kitab UndangUndang Hukum Perdata tentang Perikatan.
Menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab UndangUndang Hukum Perdata dijelaskan bahwa
: “ Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satuorang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Hukum perjanjian pada dasarnya memberikan kebebasan yang seluas- luasnya
kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang bersifat apa saja selama
perjanjian itu tidak melanggar ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan Dalam
membuat suatu perjanjian banyak cara atau jenis yang diperlukan dalam
masyarakat, baik hal itu telah diatur dalam undang- undang maupun hanya berupa
kebiasaan yang dilakukan sehari- hari.
Berdasarkan jenis perjanjian yang dikemukakan di atas perjanjian
kerjasama biasanya memakai perjanjian sepihak karena memberikan kewajiban pada
seseorang sekaligus memberikan hak kepada seseorang lain untuk menerima
prestasi yang telah dibuat, atau bisa juga memakai perjanjian timbal balik
karena dalam perjanjian tersebut memberikan hak dan kewajiban kepada para
pihak.
Dengan demikian tujuan
perjanjian adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang
melakukan perjanjian sehingga ketentuan yang diatur didalam sebuah kontrak
dapat terlaksana dengan baik dan mempunyai batasan- batasan hak dan kewajiban
bagi para pihak yang terlibat di dalam perjanjian suatu kontrak tersebut.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain untuk
melaksanakan suatu hal. Adapun syarat sah perjanjian ada empat, yaitu:
- Adanya kesepakatan mereka yang mengadakan perjanjian
- Kecakapan untuk membuat perjanjian
- Suatu hal tertentu yang hendak dijanjikan
- Suatu sebab yang halal
b.
Dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, jenis
suatu perjanjian ada tujuh, yaitu Perjanjian
timbal balik dan perjanjian sepihak, Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas
beban, Perjanjian bernama (benoemed) dan tidak bernama (non benoemd
overeenkomst), Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligator, Perjanjian
konsensual dan perjanjian riil, Perjanjian publik, dan Perjanjian publik.
c.
Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang
melanggar hak (subyektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat) yang
bertentangan dengan kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan dengan
apa yang menurut hukum tidak tertulis yang seharusnya dijalankan oleh seorang
dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat dengan mengingat adanya
alasan pembenar menurut hukum. Sedangkan keadaan force majeur adalah force
majeure/overmacht adalah keadaan memaksa. Keadaan memaksa dimana adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai
keadaan yang membawa konsekuensi bagi para pihak dalam suatu perikatan, di mana
pihak yang tidak dapat memenuhi prestasi tidak dinyatakan wanprestasi. Dengan
demikian, dalam hal terjadinya keadaan memaksa, debitur tidak wajib membayar
ganti rugi dan dalam perjanjian timbal balik, kreditur tidak dapat menuntut
pembatalan karena perikatannya dianggap gugur/terhapus.
DAFTAR PUSTAKA
Hapsari, Dwi Ratna Indri. 2014. Kontrak Dalam Kitab
Undang - Undang Hukum Perdata dan Hukum Islam terhadap Suatu Kajian dalam
Perspektif Asas - Asas Hukum. Jurnal
Repertorium, ISSN:2335-2646, Edisi I Januari - Juni 2014
Khoe,
Fenny Natalia. 2013. Hak Pekerja yang Sudah Bekerja Namun Belum Menandatangani
Perjanjian Kerja Atas Upah Ditinjau Berdasarkan Undangan-Undangan Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya. Vol.2, No. 1 :1-12.
Prayogo, Sedyo. 2016. Penerapan Batas-Batas
Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perjanjian. Jurnal Pembaharuan Hukum. Volume III Nomor 2 : 280-287.
Rasuh, Daryl John. 2016. Kajian Hukum Keadaan Memaksa
(Force Majeure) Menurut Pasal 1244 Dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Jurnal Lex Privatum. Volume
IV Nomor 2 : 173-180.
Soft file link:
review jurnal
ppt
jurnal 1
jurnal 2
jurnal 3
jurnal 4
0 Comments:
Posting Komentar